BROKEN HOME
- bem ibs
- 28 Jun 2020
- 4 menit membaca

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia menjadi sorotan akan ajang pertaruhan kasus Perceraian dan Tumbuh Kembang Anak. Kedua kasus tersebut menjadi perbincangan hangat dikarenakan Indonesia memposisikan dirinya menjadi negara tertinggi dalam kasus Perceraian di kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan data, dari tahun 2009-2015 terdapat kenaikan sekitar 16-20% atau sekitar 340.000 gugatan cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama. Setara dengan 40 kasus sidang perceraian dalam kurun waktu satu jam. Bukan hal asing untuk didengar, tetapi bukan berarti juga kita membiarkan hal itu terjadi. Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan ketika kedua pasangan sudah tidak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya. Perceraian yang baik akan berakhir baik untuk kedua belah pihak, tetapi permasalahannya terletak bagaimana perceraian tersebut berakhir mempunyai dampak negatif? Dampak negatif yang tercipta oleh perceraian yang kurang baik seperti Broken Home, Kriminalitas Anak, Kekerasan pada anak (child abuse) dan lainnya.
Broken home adalah retaknya struktur keluarga karena salah satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan kewajiban peran mereka karena perceraian, meninggalkan rumah atau tidak memperlihatkan kasih sayang lagi di dalam keluarga. Broken home sendiri tercipta ketika anak sudah merasa tidak mempunyai tempat singgah yang nyaman. Tempat singgah yang nyaman ini bisa dilihat dalam sisi emosionalnya seperti keluarga yang tidak mendukung, kurangnya perhatian dan kasih sayang, dan juga ketidaknyamanan lingkungan. Secara langsung, anak menjadi korban dalam hal perceraian yang tidak baik tersebut. Anak secara langsung merasa terbebani dan juga merasa terluka dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Berapapun umur anak tersebut, ketika ia menjadi korban dari broken home maka ia butuh dukungan yang luar biasa untuk menjalani hidup.
Kasus broken home pun turut menjadi perhatian publik bahwasannya broken home dapat berdampak pada tumbuh kembang anak secara keseluruhan. Baik kesehatan mental dan fisiknya dikemudian hari. Keluarga yang bahagia, aman dan tentram merupakan dambaan bagi setiap orang. Terbalik dengan broken home, ketika struktur keluarga terpecah belah menyebabkan si anak kehilangan kendali akan hidupnya. Menganggap bahwa hidupnya diambang kematian, bahwa si anak sudah kehilangan peran kedua orang tuanya. Anak broken home dipaksa tumbuh dengan situasi yang sangat tidak nyaman dan tentu saja sulit untuk merasa setara dengan anak-anak lainnya.
Pada penelitian yang berasal dari University of New Hampshire Cooperative Extension menjelaskan bahwa efek dari keluarga yang tidak harmonis pada anak berbeda-beda. Hal ini tergantung pada usia si anak ketika orangtua bercerai, kepribadian anak, dan hubungan di dalam keluarga. Beberapa masalah yang sering dialami anak broken home:
Masalah emosional
Sebuah studi menunjukkan bahwa kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak broken home jauh lebih tinggi dibandingkan anak yang berasal dari keluarga harmonis. Meski begitu, sampai saat ini para peneliti belum menemukan korelasi yang tepat antara perceraian dan bunuh diri seorang anak. Para peneliti menduga bahwa kasus tersebut bisa dipicu oleh bentuk penolakan anak terhadap sikap yang diambil orang tua.
Masalah dinamika keluarga
Dalam banyak kasus, anak broken home di rentang usia 18 hingga 22 tahun kemungkinan dua kali lebih besar untuk memiliki hubungan yang buruk dengan orang tua mereka. Kebanyakan dari mereka akan menampilkan tekanan emosional yang tinggi dan masalah perilaku. Tak jarang, banyak dari mereka yang sampai membutuhkan bantuan psikologis untuk membantu mengontrol emosinya.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Child Psychology Divorce juga menemukan bahwa anak broken home kurang patuh pada orang tua mereka.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam American Sociological Association menemukan bahwa efek perceraian tidak hanya dapat dirasakan saat itu saja, tapi juga bisa bertahan lama dalam jangka waktu yang panjang, sekitar 12-22 tahun setelah perpisahan.
Masalah sosial
Broken home dapat mempengaruhi hubungan sosial anak dengan lingkungan sekitarnya, karena anak broken home sering merasa cemas. Kecemasan yang dapat membuat mereka sulit untuk melakukan interaksi sosial yang positif. Memungkinkan juga untuk anak broken home dalam satu waktu memunculkan sikap sinis dan rasa tidak percaya terhadap sebuah hubungan, baik terhadap orang tua dan pasangan potensial mereka, jelas psikolog Carl Pickhardt, dalam artikelnya yang berjudul āParental Divorce and Adolescentsā yang diterbitkan pada laman Psychology Today.
Namun, tidak sedikit keluarga Broken Home yang tidak berpengaruh terhadap psikis anak, yaitu perceraian antara kedua orang tuanya tidak melepaskan tanggung jawab mereka terhadap anak mereka. Kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tuanya tetap sama, bahkan lebih baik dibanding ketika kedua orang tuanya bersama. Anak mereka tidak lagi mendengar perdebatan kedua orang tuanya dan justru kedua orang tuanya lebih bersahabat setelah bercerai demi masa depan anak mereka. Dari sini dapat diketahui bahwa tidak selalu suatu hal yang keluar dari hal buruk akan berdampak buruk, ketika dibangun dengan hal baik yang lebih menjanjikan.
Seburuk apapun, setiap kejadian selalu membawa hikmah atau pelajaran hidup. Broken home mengajarkan banyak hal, di antaranya:
Memahami pentingnya kasih sayang.
Memahami pentingnya berkomunikasi.
Memiliki rasa empati.
Memiliki motivasi yang tinggi.
Membulatkan tekad untuk sukses.
Pada akhirnya semua air mata yang tercurah dan derita yang Ada, kelihatannya saja menyakitkan. Namun, dibalik itu semua ada pelajaran berharga yang tak didapatkan orang-orang. Tuhan tidak akan memberi ujian melebihi kemampuan hambanya. Menjadi seorang anak broken home tidak berarti hidupmu tidak bisa bahagia, lho! Broken home bukanlah akhir dari segalanya karena sudah banyak orang-orang yang terbukti bahagia dan sukses dengan adanya kondisi broken home ini. Ayo buktikan bahwa broken home tidak melahirkan broken people, dan masa depan kalian juga bisa tetap bersinar terang! Jadi, jaga semangatmu ya!
Sumber:
Comentarios